Oleh : Earlene Pavita Dewi
Tiger parenting adalah metode yang mewakili kekuatan orang tua dimana mengharuskan anak-anaknya menghormati otoritas. Orang tua yang menggunakan pola asuh Tiger parenting akan membuat pengaturan aktivitas sehari-hari anaknya dipatuhi tanpa alasan atau bahkan sakit sekalipun. Tidak ada yang perlu dinegosiasikan dengan orang tua, karena orang tua berpikir merekalah satu-satunya yang tahu apa yang terbaik untuk anak-anak mereka. Cara lain mengasuh anak sesuai pola asuh tiger parenting adalah dengan memberikan yang terbaik kepada anak dan mendapatkan yang terbaik dari anak (Chua,2011). Orang tua ini selalu menjadwalkan anak-anaknya dengan banyak latihan dan tidak punya waktu untuk bermain karena mereka menganggap bermain hanya membuang-buang waktu dan tidak berguna untuk masa depan anak-anaknya. Terkadang itu membuat anak-anak dibawah tekanan dan stress, dikarenakan waktu mereka untuk latihan lebih lama dari anak-anak yang lain. Orang tua ini juga tidak terlalu peduli terhadap harga diri anaknya (Chua,2011).
Istilah Tiger mom diperkenalkan oleh Amy Chua untuk merujuk pada seorang ibu yang tegas menaruh harapan tinggi pada kesuksesan akademis anak-anaknya (Xie dan Li, 2019). Chua menggambarkan pola asuh Tiger parenting sebagai bentuk disiplin keras yang menempatkan prioritas tinggi pada prestasi akademik termasuk kewajiban keluarga, sementara itu juga menuntut kepatuhan. Tiger Mom dapat menuntut prestasi akademik tertinggi dari anak-anaknya, terlepas dari dampak psikologis atau emosional dari tuntutan tersebut, dan Tiger Mom percaya bahwa dia tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya dan masa depan mereka (Chua,2011). Lantas mengesampingkan waktu bermain, dan kegiatan ekstrakurikuler, tiger mom percaya bahwa dia harus menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya, yang mungkin termasuk ancaman, membandingkan dengan sesama saudara, berbohong, memarahi, membentak dan menghina, menyuap dan membunjuk, ataupun memaksa tanpa ampun (Chua,2011).
Penelitian empiris telah menemukan bahwa konseptualisasi Barat tentang dimensi dan profil pengasuhan secara budaya tidak sesuai untuk orang tua, karena diketahui bahwa gaya pengasuhan di China tidak dapat dibagi menjadi tiga jenis, dan penggunaan gaya pengasuhan ganda dalam setiap gaya pengasuhan direkomendasikan dalam dimensi penelitian relasional anak-anak (Xie dan Li, 2019). Konseptualisasi Barat tentang pengasuhan mungkin tidak cukup sensitif secara budaya untuk menangkap karakteristik pengasuhan orang China-Amerika (Minkyeong dan Joel, 2013). Bukti empiris juga diberikan oleh beberapa penelitian, sebagian besar di antara orang tua Asia-Amerika dan anak-anak mereka, yang menemukan bahwa pola asuh tiger parenting dikaitkan dengan prestasi sekolah yang lebih rendah (Xie dan Li, 2018). Kim et al (2013) juga menemukan bahwa anak-anak memiliki prestasi akademik yang lebih rendah dari pola asuh tiger parenting. Pola asuh tiger parenting dikaitkan dengan IPK yang lebih rendah pada anak-anak China-Amerika (Kim et al., 2013)
Seperti telah disinggung mengenai pengaruh pola asuh tiger parenting terhadap anak, terutama perkembangan emosinya, beberapa hal yang dapat diketahui tentang ketidakbahagiaan karena tidak diberi izin untuk bermain secara bebas, baik dengan teman sebayanya bermain maupun Sekedar main game atau nonton TV. Ada lebih banyak emosi negatif daripada emosi positif, yang jelas bukan hal yang baik mengingat tidak ada keseimbangan di antara keduanya. Perkembangan emosi negatif, seperti marah, sedih dan takut, berkembang lebih baik dalam aplikasi tiger parenting. Berkembangnya emosi negatif bisa muncul dikarenakan ancaman yang diperoleh dari orang tua begitu besar dan tidak cukupnya diberikan kesempatan untuk mengutarakan hal yang diinginkannya. Keterbatasan waktu bermain sendiri dan bersama teman sebaya juga dapat menyebabkan perkembangan emosi yang kurang positif pada anak. Selain itu, anak juga bisa merasa tidak nyaman. Karena segala macam hal diatur dan diputuskan oleh orang tua (Fauziah dan Maemonah,2002).
Beberapa dampak positif yang dapat diperoleh dari penerapan tiger parenting adalah orang tua sangat bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anaknya, karena orang tua ini akan melakukan hal-hal yang dapat membuat masa depan anak-anaknya menjadi lebih baik, mengajari mereka untuk lebih patuh dan lebih disiplin, meningkatkan kepatuhan anak kepada orangtua, dan terutama mengajar anak-anaknya untuk terus-menerus berusaha tanpa sadar untuk mencapai prestasi akademik yang memuaskan (Fauziyah dan Maemonah,2002). Walaupun untuk perkembangan emosi, lebih banyak dampak negatifnya seperti anak tidak bahagia, sedikit bersenang-senang, sedih karena stres terus-menerus, dituntut untuk selalu mendapatkan nilai yang tinggi, merasa kurang berwibawa dalam hidup sendiri karena semuanya dikendalikan terus menenerus oleh orang tua mereka , sampai yang terburuk adalah gejala depresi.
Dapat disimpulkan bahwa tiger parenting yang dijadikan alasan dan penjelasan saat mendisiplinkan anak, membiarkan anak mandiri saat diperlukan, dan memantau keberadaan dan aktivitas anak adalah strategi pengasuhan yang baik. Tetapi orang tua juga harus memastikan bahwa mereka meminimalkan berteriak pada anak-anak mereka, mempermalukan anak-anak (seperti membandingkan mereka dengan anak-anak lain), menuntut untuk selalu memperoleh nilai yang terbaik, mengharapkan anak-anak untuk patuh tanpa pertanyaan, menyalahkan anak-anak, atau mengungkit kesalahan masa lalu yang seharusnya tidak perlu dibahas. Bagaimanapun pula, perkembangan emosi anak perlu diperhatikan dengan baik agar anak tumbuh secara seimbang. (EP-2022-06)
Layak dipertimbangkan..
Terima kasih kakak