Oleh : Muhammad Fathur Rahman Ikram
Abstrak
Perdagangan manusia merupakan masalah klasik yang sduah ada sejak dimulainya peradaban manusia. Sebagai salah satu permasalah pelanggaran hak asasi manusia yang sudah lama keberadaannya, perdagangan manusia mengembangkan dirinya dalam berbagai bentuk. Meskipun termasuk sebagai salah satu permasalahan terlama umat manusia, banyak upaya dari berbagai pemerintah maupun badan di berbagai tempat di belahan dunia belum dapat meyelesaikan permasalahan tersebut secara menyeluruh, salah satunya pemerintahan dan badan-badan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, penulis berusaha memaparkan solusi terhadap permasalahan ini dengan juga mengikutsertakan peran masyarakat serta dengan bantuan media sebagai sarana edukasi. Diharapkan dengan pemaparan penulis, masyarakat menjadi lebih memahami bentuk dan mekanisme perdangangan manusia.
Pendahuluan
Perdagangan manusia merupakan salah satu praktik pelanggaran hak asasi manusia yang sudah sejak lama dilakukan oleh berbagai perdaban, diperkirakan perdagangan manusia dimulai sejak masyarakat mulai mengalami megalami pergeseran gaya hidup, yang tadinya berpindah-pindah menjadi menetap (Mufidah Ch, 2011: 12). Perdagangan manusia sangat beragam rentang waktu dan lokasinya, dapat dilihat dari praktik perdagangan manusia dapat ditemukan di berbagai macam perdadaban masa lalu, mulai dari Mesopotamia kuno hingga Perdagangan Budak dari Afrika Barat ke Benua Amerika. Namun, sangat disayangkan praktik perdangangan manusia sulit sekali dihentikan, walaupun diiringi dengan kemajuan teknologi di zaman ini. Bahkan, dapat dikatakan bahwa seiring perkembangan zaman, perdagangan manusia juga ikut berkembang, seperti praktik perdagangan manusia yang dimudahkan dengan keberadaan internet.
Menurut Brysk, perdagangan manusia bukan hanya merupakan tindak kriminalitas, melainkan juga adalah salah satu bentuk dari pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia; seperti hak untuk menjalani kehidupan yang bebas, hak untuk mendapatkan kedidupan yang layak, hak untuk memperoleh kesejahteraan, serta hak martabat yang dimiliki oleh setiap manusia (Brysk dalam Suyatno, 2018). Selain itu, Berdasarkan pernyataan Khofifah Indar Parawansa selaku mantan Menteri Sosial, pendapatan perdagangan manusia mencapai 63 triliun per tahunnya atau setara dengan 50 miliar dolar Amerika Serikat setiap tahun (Hafil, 2015). Oleh karena itu, tindakan yang sangat serius perlu untuk diambil, bukan hanya oleh pemerintah, teteapi juga oleh masyarakat umum. Pemerintah sendiri tentu saja sudah melakukan tindakan hukum terhadap banyak kasus perdagangan manusia, mulai dari pembuatan undang-undang sampai pemberian hukuman bagi para pelaku perdagangan manusia. Namun, upaya sepihak oleh pemerintah akan sulit dilaksanakan apabila tidak dibarengi dengan keinginan masyarakat untuk bersama-sama berusaha menanggulangi isu tersebut.
Mengenai Perdagangan Manusia
Perdagangan manusia menurut protokol pencegah, pemberantas dan pemberian hukum kepada pelaku perdagangan mansia adalah menerima, mengangkut, mengirim dan menyembunyikan manusia dengan cara memberlakukan kekerasan atau tekanan-tekanan dalam bentuk lain, seperti penculikan, penipuan, penyalahgunaan keudukan dan kekuasaan, maupun kecurangan yang bersifat mudah melalui pemberian, penerimaan, pembayaran dan keuntungan-keuntungan untuk memperoleh kesepakatan dengan orang-orang yang memiliki kekuassan atas orang-orang lain, dengan tujuan untuk menerapkan pemerasan kepada orang-orang yang ada di bawah kedalinya. Pemerasan tersebut antara lain; pemaksaan terhadap pelacuran maupun pemerasan seksual lainnya, pemaksaan sebagai tenaga kerja maupun bentuk pelayanan lainnya, perbudakan maupun praktik-praktik serupa, serta perdagangan terhadap organ-orang tubuh manusia (Mufidah Ch, 2011: 9).
Praktik-praktik yang telah disebutkan diatas memang sangat erat hubungannya dengan perdagangan manusia, namun ada satu hal yang membuat praktik-praktik diatas dapat dikategorikan sebagai perdangan manusia, yaitu consent atau persetujuan (Irianto, et al, 2006 : 5). Dengan kata lain, hal yang membedakan prostitusi dengan perdagangan manusia adalah adaanya kesediaan diri sang pekerja seks tersebut. Tanpa ketersediaan diri dalam menjual tubuhnya, orang tersebut dapat dikatan sebagai korban perdagangan manusia dan bukan merupakan tersangka pelacuran. Argumen tersebut juga diperkuat oleh Global Allience Against Trafficking in Women (GAATW)yang berpendapat bahwa perempuan yang menjual diri sebagai pekerja seks harus dihargai, dilindungi dan dilegalkan oleh negara agar para pekerja mendapatkan perlindungan dari kekerasan serta jaminan kesehatan, berbeda dengan pelacuran didasari oleh paksaan yang harus diberantas (Mufidah Ch, 2011 : 13).
Terlepas dari pemahaman-pemahaman diatas, permasalahan yang terjadi sering kali jauh lebih rumit dari pada pemaparan tersebut, karena seringkali korban ditempatkan pada situasi yang sangat sulit. Korban perdagangan manusia (terutama perempuan) tidak jarang dijadikan sebagai teman, kekasih atau istri bagi pelaku, hal tersebut tentu saja bukan didasari oleh cinta yang tulus dari pelaku, tetapi tentu saja sebagai salah satu sarana pelaku untuk memperlancar aksinya dalam mengeksploitasi korban. Dengan cara ini, terbentuklah suatu hubungan yang didominasi oleh pelaku karena korban dibuat memiliki ketergantungan finansial pada pelaku (Irianto et al, 2006 : 1). Permasalahan yang dihadapi oleh korban dalam posisi ini bukan lagi mengenai pemberian consent, tetapi korban dalam situasi ini sudah tidak diberikan pilihan untuk memberikan consent atau tidak.
Bentuk-bentuk Perdagangan Manusia
Perdagangan manusia, menurut Mufidah Ch (2011 : 17-18) biasa dilakukan dalam beberapa bentuk, salah satunya adalah sebagai pembantu rumah tangga. Pekerja-pekerja ini sangat rentan untuk dieskploitasi oleh orang-orang yang mempekerjakannya karena lokasi kerjanya yang tertutup dari khalayak umum, biasa berada dalam kediaman majikannya. Ada beberapa bentuk pelanggaran yang biasa terjadi, seperti akomodasi yang kurang atau tidak layak; gaji yang kurang atau bahkan tidak dibayarkan sama sekali; kurang atau tidak adanya waktu untuk beristirahat; larangang bagi asisten rumah tangga untuk keluar; makanan dengan porsi dan kualitas yang kurang layak; tidak diperbolehkannya pekerja untuk melaksanakan peribadahan sesuai dengan agama yang dianutnya; serta waktu kerja yang berlebihan. Selain itu, para pekerja juga sering mengalami kekerasan dari majikannya, baik secara fisik, psikis maupun seksual.
Mufidah Ch (2011 : 18) juga menyatakan bentuk lain dari perdagangan manusia ini, yaitu eksploitasi secara seksual. Perempuan yang dipekerjakan dalam bidang ini biasanya tidak menyadari apa yang sebenarnya akan dilakukannya setelah direkrut. Kebanyakkan dari mereka mengira bahwa pekerjaan yang akan dilakukannya adalah sebagai pelayan sebuah restoran, menjadi asisten rumah tangga atau pekerjaan-pekerjaan sewajarnya lain. Namun, setelah sampainya para korban di lokasi kerjanya, kesadaran bahwa apa yang akan dikerjakan tidak sesuai apa yang dibayangkan sebelumnya. Kesempatan kerja yang diterima sebelumnya tentu saja bukan sebagai pekerja seks komersial, tetapi seringkali sebagai pekerjaan lain, seperti buruh migran atau pekerjaan yang lebih lazim lainnya.
Kesempatan kerja sebagai buruh migran juga sering dijadikan kesempatan untuk melakukan praktik perdagangan manusia oleh beberapa oknum. Banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap para pekerja di bidang ini juga. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi kurang lebih sama dengan apa yang diderita oleh para pembantu rumah tangga, seperti jam kerja yang berlebihan; ketidaklayakan akomodasi dan konsumsi; serta larangan untuk pengambilan cuti. Terjadinya hal-hal tersebut, salah satunya disebabkan oleh para pekerja yang mendaftarkan dirinya untuk bekerja kepada para agen secara illegal. Sehingga, apabila terjadi pelanggaran para pekerja ketakutan untuk melaporkan hal tersebut, dikarenakan status para pekerja sebagai pekerja illegal (Mufidah Ch, 2011 : 14-15).
Bentuk lainnya dari perdagangan manusia menurut Mufidah Ch (2011 : 20) adalah praktik pengantin pesanan. Pernikahan yang sering terjadi dalam kasus ini adalah antara wanita keturunan Tionghoa di Indonesia dengan pria asing dari Hong Kong ataupun Taiwan, tentu saja terjadi salah satunya karena adanya kesamaan etnis antara mereka. Pria-pria asing juga menilai bahwa wanita-wanita keturunan Tionghoa dari Indonesia akan lebih bersedia untuk mengerjakan pekerjaan rumah daripada wanita-wanita dari negara asalnya sendiri. Tidak berbeda dari tindak perdagangan manusia lainnya, para wanita dalam kasus ini juga seringkali mengalami perlakuan yang tidak mengenakan layaknya pembantu rumah tangga yang baru dialami setelah menikah di negeri orang. Irianto et al (2006 : 4) menjelaskan bahwa terjadinya perdagangan manusia oleh orang tua kepada anak adalah karena masih kentalnya budaya fillieal piety di Indonesia, yaitu budaya yang mengharuskan anak untuk berbakti pada orang tua.
Penanggulangan Perdagangan Manusia oleh Pemerintah yang Didukung oleh Masyarakat
Salah satu penyebab terjadinya perdagangan manusia adalah karena tingginya permintaan pasar terhadap pekerja seks komersial. Oleh karena itu, menurut Mufidah Ch (2011 : 31) penghapusan wisata seks sangat penting untuk mencegah terus terjadinya perdagangan manusia. Dengan menutup lokasi-lokasi yang biasa digunakan sebagai tempat pelacuran, pemerintah menutup akses langsung pemasaran manusia. Peneritban tempat-tempat lokalisasi ini juga dapat dengan langsung menjadi ajang untuk menyelamatkan orang-orang yang menjadi korban perdagangan manusia, yaitu dengan cara langsung melakukan penampungan terhadap para pekerja seks komersial yang ada di dalamnya, kemudian pemberian pembinaan dapat dilaksanakan agar pekerjaan yang sama tidak dilakukan lagi di masa depan. Pemberian hukuman juga harus dilakukan terhadap mereka yang melakukan peksaan, penyekapan dan tindak pelanggaran hak asasi manusia lainnya kepada para pekerja seks komersial. Usaha pemerintah dalam hal ini akan sangat berat tanpa banuan patisipasi dari masyarakat, usaha masyarakat dalam hal ini adalah dengan tidak ikut berkontribusi dalam proses prostitusi atau setidaknya memahami betul bahwa pekerja seks komersial bekerja karena kemauannya sendiri dan bukan paksaan dari pihak lain.
Mufidah Ch (2011 : 18) menekankan bahwa kerja sama antara negara pengirim tenaga kerja dan penerimanya merupakan hal penting. Hal tersebut dikarenakan banyak para pekerja yang berada di negara asing sudah tidak dapat dijangkau oleh pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, negara penerima tenaga kerja juga harus dapat diajak berkompromi dalam penanggulangan perdagangan manusia. Kerja sama bukan hanya dapat dilakukan oleh negara pengirim dan negara penerima tenaga kerja, tetapi juga dengan negara yang tidak terlibat diantaranya, seperti pemberian dana bantuan dari Amerika Serikat kepada Indonesia sebanyak 13 milliar rupiah sebagai upaya bantuan dalam menannggulangi perdagangan manusia di Indonesia (Sekarwati, 2018).
Pemerintah Indonesia juga harus bekerja sama terhadap perlindungan secara diplomatik terhadap warga negaranya (Mufidah Ch, 2011 : 31). Prosedur yang diperlukan untuk mendapatkan perlindungan secara diplomatik juga harus dibuat semudah mungkin, mengingat kebanyakan dari korban perdagangan manusia biasanya adalah orang dengan tingkat pendidikan yang rendah. Sehingga korban tidak merasa kebingungan dan timbul rasa enggan untuk melaporkan pelanggaran-pelanggaran hak asasi maupun kontrak yang dihadapinya. Perlindungan secara diplomatis ini bukan hanya berlaku pada para pekerja yang taat dengan peraturan yang ada, tetapi juga para pekerja yang tidak menaati aturan yang ada, meskipun ada pekerja yang melanggar aturan bukan berarti hak asasinya sebagai manusia harus dilucuti darinya. Masyarakat tidak terlalu berpengaruh dalam usaha ini, tetapi masyarakat dapat melakukan pelaporan apabila mendapati pelanggaran yang menimpa kerabatnya yang bekerja di luar negeri.
Pemerintah juga perlu memberi perhatian khusus terhadap proses adopsi anak yang selama ini terjadi di Indonesia. Mufidah Ch (2011 : 31) menyatakan bahwa praktik adopsi yang ada di Indonesia saat ini sering disalahgunakan sebagai salah satu sarana untuk mendapatkan anak yang akan diperdagangkan. Anak tersebut yang telah didapatkan dari proses tersebut kemudian biasanya dimanfaatkan untuk diambil organ-organ tubuhnya, kemudian organ-organ tubuhnya dipasarkan melalui pasar gelap. Pemerintah seharusnya melarang praktik pengadopsian tradisional di Indonesia, karena praktik tersebut tidak selalu berujung nasib baik bagi sang anak. Pemerintah harus memeriksa kesiapan mental dan finansial calon orang tua yang akan mengadopsi anak, sebagai salah satu cara untuk memastikan kemaslahatan anak tersebut di masa yang akan mendatang. Peran masyarakat dalam usaha ini adalah dengan melakukan sesuai proses hukum dalam proses adopsi serta melakukan laporan apabila mendapati proses adopsi yang dilakukan secara illegal.
Mufidah Ch (2011 : 31) juga menambahkan perlunya usaha pemerintah untuk memperketatat pengawasan terhadap akses-akses keluarnya tenaga kerja dari Indonesia ke luar negeri, seperti bandara dan pelabuhan. Pengetatan di garis terluar Indonesia ini dapat dilakukan dengan memberikan pemaparan terhadap para pekerja di pelabuhan maupun bandara mengenai perdagangan manusia, dengan begitu para staf dapat mengidentifikasi apabila terjadi proses perdagangan manusia di bawah pengawasannya. Sosialisasi ini dapat dilakukan dengan pemberian informasi terhadap para staf di bandara maupun pelabuhan, agar para pekerja mengetahui dan memahami mekanisme perdagangan manusia secara mendalam. Sosialisai juga perlu dilakukan secara rutin supaya para pekerja di bandara maupun pelabuhan dapat mengikuti perkembangan yang terjadi dalam perdagangan manusia, memahami mekanisme-mekanisme baru yang tejadi di dalamnya. Dengan pemberian pemahaman kepada para staf, diharapkan pemerintah dapat mencegah proses terjadinya perdagangan manusia sebelum berlanjut ke negara lainnya. Dalam usaha ini, masyarakat dapat membantu pemerintah dengan mengedukasi diri memahami gejala-gejala terjadinya perdagangan manusia, diharapkan masyarakat yang memahami ciri-ciri perdagangan manusia dapat mengidentifikasi apabila terdapat perdagangan manusia yang terjadi dalam transportasi umum yang digunakannya.
Sosialisasi bukan hanya perlu diselenggarakan untuk para staff yang bekerja di bandara atau pelabuhan saja, harusnya sosialisasi diberikan terhadap segala lapisan masyarakat yang ada di Indonesia. Mufidah Ch (2011 : 22) berpendapat bahwa ketidaksadaran calon pekerja terhadap praktik-praktik perdagangan manusia adalah salah satu penyebab masih maraknya perdagangan manusia di Indonesia. Sosialisasi yang dipeberikan harusnya dipaparkan dengan bahasa yang mudah dipahami, mengingat kebanyakan korban dari perdagangan manusia merupakan golongan dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah (Din, 2010). Masyarakat dari segala golongan harus memahami secara mendalam mengenai bahaya, mekanisme, serta modus yang biasa dijadikan sebagai metode perdagangan manusia, agar calon tenaga kerja dapat melakukan identifikasi terhadap pekerjaan yang akan dilakukannya nanti. Masyarakat harus berperan aktif dalam usaha pemerintah ini, tentu saja dengan menghadiri dan mengajak orang-orang yang dikenalnya untuk mengedukasi diri mengenai perdangan manusia, memahami gejala-gejalanya serta upaya-upaya masyarakat dalam menghentikan perdagangan manusia.
Bukan hanya melalui sosialisasi, tetapi perdagangan manusia harus dicegah secara lebih mendalam, salah satu adalah melalui pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia juga adalah salah satu faktor maraknya perdagangan manusia (Mufidah Ch, 2011 : 22). Dengan ditingkannya pendidikan di Indonesia, peluang masyarakat Indonesia untuk bekerja di negeri orang menjadi lebih luas dan tidak terbatas pada asisten rumah tangga, buruh kasar dan pekerjaan-pekerjaan bawahan lainnya. Pekerjaan dengan tuntutan kemapuan yang lebih tinggi cenderung memberikan kontrak dengan perlindungan dan jaminan yang lebih jelas daripada pada pekerjaan-pekerjaan kasar, individu-individu yang berada dalam perkerjaan bidang ini juga mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah dan aparat yang ada di negara tersebut. Selain itu, orang-orang dengan pendidikan yang lebih tinggi juga lebih mengerti apa yang harus dilakukan apabila terjadi pelanggaran dalam bentuk apapun terhadap dirinya. Partisipasi masyarakat dalam usaha ini adalah tentu saja dengan menempuh pendidikan bagi generasi muda serta memberikan contoh dan dukungan bagi generasi pendahulu agar tercipta sumber daya manusia yang lebih berkualitas mewakili Indonesia di kancah internasional.
Penanggulangan Perdagangan Manusia oleh Masyarakat
Masyarakat yang memahami gejala-gejala terjadinya perdagangan manusia melalui sosialisasi, diharapkan dapat mengidentifikasi apabila ada perdagangan manusia yang terjadi di sekitarnya, sehingga dapat melaporkan apa yang dicurigainya sebagai tindak perdagangan manusia kepada pihak berwajib. Mantan Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari Tindak Pidana Perdagangan Orang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Hestri Handayani menyatakan bahwa pelaporan harus dilakukan oleh orang-orang yang menyaksikan, bukan hanya oleh korban. Bahkan, Hestri menyatakan bahwa para korban perdagangan manusia yang dapat melaporkan pelanggaran hak asasi manusia yang dialaminya justru enggan untuk melakukannya, karena para korban seringkali merasa malu, takut dan tidak yakin dengan apa yang akan dialaminya setelah melapor (Samodro, 2019).
Laporan tersebut dapat disampaikan kepada; Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ECPAT Affiliated in Indonesia), dengan nomor telepon (061) 820 017 0 ataupun faks (061) 821 3009. Selain itu, laporan juga dapat disampaikan kepada Komisi Nasional Perlindungan Anak, dengan nomor telepon (021) 8779 181 8. Pelaporan juga dapat disampaikan kepada Mabes Polri, dengan alamat Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta juga melalui nomor telepon (021) 721 8098/739 365 0 serta faks: (021) 720 1402 (Din, 2017).Selain itu, dapat juga dilaporkan pada kantor polisi terdekat pada daerah masing-masing. Dengan melapor, pemberian bantuan dan rehabilitasi sosial pada korban akan lebih mudah untuk dilaksanakan (Samodro, 2019)
Wakil Ketua DPD saat itu, Prof Damayanti Lubis berpendapat masyarakat secara umum diperlukan dalam penanggulangan perdagangan manusia, termasuk guru; orang tua; tokoh agama; tokoh masyarakat; serta pejabat pemerintah, semuanya harus bekesinambungan dalam penanggulangan isu perdagangan manusia (Rostanti, 2018). Mufidah Ch (2011, 31) juga menekankan pentingnya peranan tokoh-tokoh masyarakat dalam menanggulangi permasalahan perdagangan manusia. Tokoh-tokoh masyarakat dapat menggunakan pengaruhnya untuk melakukan sosialisasi terhadap mekanisme perdagangan manusia serta melakukan himbauan kepada masyarakat tentang gejala-gejala terjadinya perdagangan manusia. Pemberian informasi ini dapat dilakukan sesuai dengan peran masing-masing anggota masyarakat, sepeti guru yang mengedukasi siswa dan siswinya mengenai perdagangan anak, tokoh agama yang menjadikan perdagangan manusia menjadi topik bahasan dalam ceramahnya, serta tokoh pemerintah yang menjelaskan dengan rinci data-data mengenai perdagangan manusia.
Media sebagai Sarana Edukasi Mengenai Perdagangan Manusia
Penyampaian informasi mengenai perdagangan manusia tidak hanya dapat dilakukan melalui sosialisasi. Pemaparan mengenai isu pedagangan manusia juga dapat dikemas lebih menarik melalui animasi, film, permainan dan lain sebagainya. Penggunaan media-media tersebut dapat dijadikan sebagai sarana belajar untuk anak-anak mengenai bahaya dan mekanisme perdagangan manusia. Pengenalan terhadap perdagangan manusia tidak perlu dibungkus dengan kisah pilu dan tragis yang terjadi di dalamnya, tetapi cukup dengan memberi pemahaman bahwa perdagangan manusia memang ada dan anak-anak harus waspada terhadap hal tersebut. Media ini anak juga dapat diajarkan mengenai apa yang harus dilakukan jika mereka terjebak dalam situasi perdagangan manusia.
Kesimpulan
Perdagangan manusia sebenarnya dapat dicegah dengan mengalirnya informasi yang benar dan diperlukan kepada seluruh lapisan masyarakat, seperti orang tua; anak; guru; calon pekerja; tokoh masyarakat; staff pemerintahan dan lain sebagainya agar masing-masing peran memberikan kontribusinya terhadap pemecahan kasus perdagangan manusia. Pemberian informasi kepada orang-orang yang tepat juga pada waktu tepat adalah kunci pencegahan perdagangan manusia. Ketidaksadaran dan kurangnya pemikiran kritis sebenarnya adalah penyebab utama banyak orang terjerat dalam perdagangan manusia. Oleh karena itu, informasi meruapakan kata kunci dalam penanggulangan permasalahan perdagangan manusia. Dengan tulisan ini juga penulis berharap menjadi salah satu dari banyak orang yang berusaha menyampaikan bahaya dan mekanisme yang biasa terjadi di perdagangan manusia.
Penulis juga menyoroti kurang seriusnya pemerintah dalam menanggulangi isu perdagangan manusia serta kurangnya peran masyarakat dalam mencegah permasalahan perdagangan manusia, sebagai bahan introspeksi bersama. Aksi berkesinambungan antara pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan dalam penanggulangan isu perdagangan manusia. Usaha secara mandiri dari pemerintah saja tidak akan pernah efektif dalam menangani perdagangan manusia, tanpa keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut. Kesadaran masyarakat akan bahaya dan pemahamannya mekanisme yang biasa terjadi di perdagangan manusia akan sangat membantu pemerintah dalam meminimalisir terus terjadinya perdagangan manusia di Indonesia.